- Back to Home »
- Kepemimpinan Perempuan
Posted by : Unknown
Kamis, 01 Mei 2014
Menurut agama Islam, pada
dasarnya perempuan dan laki-laki memiliki derajat yang sama. Hal ini ditegaskan
dalam firman Allah SWT:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ
ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ
أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” [QS. an-Nahl (16): 97]
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ
وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ.
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. at-Taubah (9): 71]
Perspektif
Muhammadiyah tentang Pemimpinan Perempuan
a.
Putusan Majelis Tarjih tentang Kepemimpinan Perempuan
Putusan Majelis Tarjih yang berkaitan dengan kepemimpinan perempuan
yang terhimpun
dalam
satu kitab yang dinamai Adabul Mar’ah fiil Islam. Risalah ini dihasilkan dalam
Muktamar Tarjih ke 18 yang dilangsungkan di Garut. Dalam keputusan ini topik
kepemimpinan perempuan terdapat pada bab “wanita dalam bidang politik” dan bab
“bolehkah wanita menjadi hakim”.
Pada
QS. At-Taubah: 71 dipahami oleh Majelis Tarjih sebagai ayat yang mendorong
setiap Muslim dan Muslimah untuk berkiprah secara intensif dalam
kegiatan-kegiatan amar bil ma’ruf dan nahi ‘anil-munkar yang mencakup berbagai
bidang kehidupan. Majelis Tarjih
menjelaskan bahwa peran perempuan dalam politik dapat diimplementasikan dalam
dua peran. Pertama peran yang bersifat langsung dan kedua peran tidak langsung.
Peran langsung diwujudkan dalam bentuk keterlibatan dalam badan legislatif,
mulai dari pusat hingga daerah. Untuk itu, menurut Majelis Tarjih
“kaum
wanita harus ikut serta dan berjuang untuk mencapai jumlah perwakilan yang
memadai.” Sedangkan peran tidak langsung dapat direalisasikan dalam
kegiatan-kegiatan penyadaran politik mulai dari rumah tangga, masyarakat,
dengan cara “mengambil bagian aktif dan mengisi kesempatan-kesmpatan yang
bermanfaat di dalam masyarakat, dan pengisian lembaga-lembaga
kemasyarakatan. Di samping itu, dengan mengutip
surat At-Taubah ayat 71, Majelis Tarjih
memandang bahwa laki-laki dan perempuan bertanggungjawab atas kegiatan amar bil
ma’ruf dan nahi ‘anil munkar untuk menegakkan keadilan dan menghapus kelaliman.
Karena itu, meskipun secara faktual di lapangan laki-laki banyak mengisi
berbagai lapangan kehidupan, namun perempuan pun diberikan kesempatan yang
sama. Sebab tidak ada satu teks pun yang melarang perempuan untuk melakukan
kegiatan-kegiatan yang selama ini lebih banyak diisi oleh laki-laki, sepanjang
tidak keluar dari bingkai kebaktian (amal sholeh) kepada Allah. Karena itu,
“bagaimana halnya seorang wanita menjadi hakim, direktur sekolah, direktur
perusahaan, camat, lurah, menteri, walikota, dan sebagainya? Agama tidak memberikan
alasan bagi yang menolak atau menghalang-halangi”.
b.
Fatwa Majelis Tarjih tentang Kepemimpinan Perempuan
Fatwa ini ditemukan pada “bab masalah wanita” dalam kumpulan fatwa
Majelis Tarjih yang dihimpun dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid IV. Majelis
Tarjih menyatakan bahwa ada tiga nash yang biasa digunakan menjadi argumentasi larangan
perempuan menjadi pemimpin, yaitu:
Pertama:
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, karena Allah telah
menganugerahkan kelebihan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(perempuan) dan karena mereka (laki-laki) memberikan nafkah dari hartanya...”
(Q.S. Ali-Imran: 4)
Kedua:
“Tidak beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.”
Ketiga:
“Tibalah saatnya kehancuran kaum laki-laki jika ia tunduk kepada perempuan.”
Namun ketiga nash tersebut menurut Majelis Tarjih tidak dapat dijadikan
dalil untuk menolak kepemimpinan perempuan. Alasan yang dikemukan oleh Majelis
Tarjih adalah nash pertama berisikan informasi yang membicarakan hubungan
privat laki-laki dan perempuan di
lingkungan
rumah tangga. Sesuai konteks historis atau sabab nuzul-nya, ayat ini turun atas
kasus pembangkangan atau nushuz yang dilakukan oleh istri Sa’ad ibn Ar-Rabbi
yang karenanya ditampar oleh Sa’ad. Karena itulah ia melaporkan kepada
Rasulullah SAW supaya beliau memberikan hukuman qishash. Saat itu, Nabi tidak
melakukan qishash karena sesuai semangat zamannya, apa yang dilakukan Sa’ad
masih dalam kapasitasnya sebagai pemimpin rumah tangga. Dengan
demikian,
nash ini tidak dapat digunakan sebagai dalil untuk persoalan kepemimpinan
perempuan secara umum. Sedangkan nash kedua, menurut Majelis Tarjih harus
dibaca dalam konteks semangat
zamannya
bukan dalam arti harfiahnya. Melalui penelusuran sejarah yang mengitari latar
belakang hadis dimaksud diketahui bahwa ia disabdakan Nabi SAW di tengah suasana
yang belum berpihak kepada perempuan, yaitu suatu suasana yang dicirikan dengan
masih adanya tradisi penguburan bayi perempuan hidup-hidup, perempuan masih diposisikan
di ranah domestik dan lain-lain, dan karenanya Rasulullah SAW berupaya
mengangkat derajat perempuan. Sedangkan nash ketiga sama sekali tidak dapat
digunakan sebagai dalil karena hadis tersebut adalah hadis dhaif, dikarenakan
dalam sanadnya ada rawi bernama Bakr ibn Abdil ‘Aziz yang didhaifkan oleh para
ahli hadis. Saat ini dimana perempuan sudah mengenyam dunia pendidikan dan
memahami persoalan-persoalan kemasyarakatan yang karenanya bisa menggenggam
wilayah yang selama ini dimasuki dunia
laki-laki,
maka tidak ada alasan untuk menolak perempuan tampil sebagai pemimpin di tengah
masyarakat, karena hakekatnya itu merupakan bagian dari amal sholeh yang
terbuka untuk laki-laki dan perempuan sebagaimana yang diajarkan Al-Qur’an
dalam surat An- Nahl ayat 97 yang berbunyi: ahl ayat 97 yang berbunyi “Barang
siapa yang mengerjakan amal sholeh bagi laki-laki
maupun
perempuan dalam keadaan beriman maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
yang baik sesungguhnya. Kami akan beri balasan mereka dengan pahala yang lebih
baik daripada apa yang telah mereka lakukan.”
# disampaikan pada diskusi immawati Brawijaya
# disampaikan pada diskusi immawati Brawijaya